Konsumsi sesuatu yang berlebihan itu tidak baik untuk tubuh, seperti konsumsi mi instan. Dalam eksperimen pertama, Dr. Braden Kuo dari RS Umum Massachusetts ingin mengetahui apa yang terjadi pada makanan di lambung dan saluran pencernaan setelah mengonsumsi mi instan ramen. Dia adalah orang pertama yang melakukan percobaan seperti ini.
Menggunakan kamera seukuran pil, Dr. Kuo meneliti ke dalam perut dan saluran pencernaan. Kamera tersebut untuk menunjukkan apa yang terjadi setelah kita makan mi instan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahkan setelah dua jam, mi instan masih utuh.
Mi instan pun dibandingkan dengan mi segar untuk tujuan penelitian ini. Melalui foto, Bunda bisa melihat pencernaannya jauh berbeda. Sebagai perbandingan, relawan penelitian juga makan mi ramen segar buatan rumah pada hari yang berbeda.
"Hal yang paling mengejutkan tentang percobaan kami ketika Anda melihat pada interval waktu, katakanlah dalam satu atau dua jam, kami melihat mi ramen yang diproses tidak terlalu rusak dibandingkan mie ramen buatan sendiri," kata Kuo, dikutip dari Lifehack, Kamis (18/6/2020).
Setelah dua jam, mi segar hampir sepenuhnya dicerna, perut relawan memecah mi sebagaimana mestinya. Sementara, melihat mi ramen instan setelah dua jam menunjukkan bahwa mi tersebut tidak terlalu rusak, dan hampir sepenuhnya utuh. Kuo merekam 32 jam dari kamera pil.
Proses pencernaan mi instan dalam usus beda dengan mi segar.
"Apa yang kami lihat di sini adalah perut yang berkontraksi bolak-balik saat mencoba menggiling mie ramen," kata Kuo tentang eksperimennya.
Ketika mi instan tidak rusak, penyerapan nutrisi akan terpengaruh. Ini memungkinkan bahan pengawet berlama-lama di perut untuk jangka waktu yang lebih lama. Pengawet utama dalam mi instan ramen adalah Terriary-butyl hydroquinone (TBHQ). TBHQ adalah aditif yang biasa digunakan dalam makanan olahan murah, seperti microwave popcorn, wheat thins, dan poptarts.
FDA mengatakan bahwa TBHQ tidak boleh melebihi 0,02 persen dari kandungan minyak dan lemaknya. Sejumlah kecil TBHQ mungkin tidak membunuh atau membuat Bunda merasa sakit dalam waktu cepat, tetapi berpotensi dapat memiliki efek jangka panjang pada kesehatan seperti melemahnya organ, dan timbulnya kanker serta tumor.
Sayangnya, penelitian Kuo terlalu kecil untuk meyakinkan, akan tetapi jutaan orang menarik kesimpulan sendiri bahwa sesuatu yang berlebihan itu tak baik.
Makanan olahan masih perlu diselidiki lebih lanjut, dan diperlukan lebih banyak penelitian untuk menentukan efek yang tepat pada kesehatan jangka panjang kita. Yang terbaik adalah sebisa mungkin mencoba menghindari makanan olahan, karena tidak hanya keras pada perut, tetapi juga berdampak negatif pada organ internal lainnya.